Selasa, 27 Juli 2010

Menakar Proporsionalitas Akal & Wahyu

Menakar Proporsionalitas Peran Akal dan Wahyu

Pendahuluan

Akal dengan segala kemampuannya untuk berpikir adalah kelebihan yang membedakan antara manusia dan makhluk lain. Al-Qur’an banyak menyerukan kepada manusia untuk berpikir. Sebagai khalifah di bumi, manusia diberi kebebasan menggunakan akal pikirnya untuk memakmurkan kehidupan, karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak dan berkecenderungan kepada mencari kebenaran. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama. Oleh karenanya kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda. Dengan kata lain, setiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut. Karena perbedaan kriteria maka kebenaran baik yang bersifat subyektif maupun yang bersifat obyektif sama-sama relatif sepanjang itu dihasilkan melalui proses berpikir. Karena berpikir sebagai bagian dari aktifitas fisafati bersifat spekulatif. Sebuah kebenaran yang dicapai melalui berpikir sangat ditentukan oleh subyektifitas atau obyektifitas dalam berpikir.

Berbicara tentang persoalan berpikir obyektif sebagai bentuk kerja akal tidak bisa terlepas dari berpikir secara filsafati, karena sesungguhnya filsafat mengajak manusia berpikir menurut tata tertibnya (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sampai ke dasar persoalan. Jadi berpikir secara filsafati yang dimaksudkan adalah berpikir secara mendasar (radic) , bebas dan logis tidak terikat oleh nilai apapun termasuk wahyu.

Berpikir sebagai kegiatan filsafati individual memang tidak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan komunal atau sosial, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa implikasi dari hasil sebuah pemikiran akan memasuki pada ranah-ranah kehidupan sosial. Sebagai contoh rekayasa bioteknologi seperti cangkok sperma, kloning, cangkok ginjal babi dan sebagainya dalam tataran sebagai pruduk berpikir adalah sah adanya. Tetapi pada tataran aplikasi tentu (minimal bagi umat Islam) akan mempertanyakan status hukumnya, misalnya bolehkah hal itu dilakukan, bertentangan dengan hukum dan moral agama atau tidak dan sebagainya. Meskipun demikian, jika berpikir terlalu dibatasi dengan norma atau nilai tertentu maka yang terjadi adalah pemasungan fitrah manusia itu sendiri.

Untuk mendapatkan pemahaman yang clear and distingue tentang tarik menarik antara peran akal dalam berpikir dan wahyu sebagai norma dan etika agama, yang sudah barang tentu akan membatasi kebebasan, perlu dilakukan telaah secara obyektif dengan melihat wilayah kerja dan kewenangan masing-masing baik pada tataran ontologi maupun aksiologinya dalam mewujudkan kesejahteraan kehidupan umat manusia. Tulisan ini mencoba membincangkan proporsionalitas peran akal dan wahyu. Pertanyaannya adalah kapan akal bisa meninggalkan wahyu, atau sebaliknya kapan wahyu harus mempetieskan peran akal, dan kapan pula antara akal dan wahyu saling bersinergi pada wilayah garapan yang sama. Ada ruang bertemu dan ada ruang berpisah antara peran akal dalam berpikir dan wahyu sebagai norma dan etika agama. Pada titik inilah makalah ini difokuskan pembahasannya.

Kebebasan Menggunakan Akal dalam Berpikir

Manusia dianugerahi akal adalah agar manusia dapat berpikir secara bebas dan bertanggung jawab untuk membedakan antara yang benar dan yang salah yang baik dan sebaliknya. Benar dan salah yang dicapai oleh akal manusia diukur dengan logika yang pada hakikatnya bebas nilai. Mengapa, karena ketika kebebasan berpikir dipasung dengan nilai-nilai tertentu, maka sesungguhnya itu merupakan awal ketakberdayaan manusia. Ketika kondisi seperti ini yang terjadi, maka pada saat yang bersamaan kebudayaan akan punah. Begitu pula, ketika dunia ini kosong kebudayaan, maka sudah tidak perlu lagi apa yang di sebut sistem nilai- budaya (cultural value system). Antara budaya manusia dan nilai yang terkait dengannya tidak dapat dipisahkan, masing-masing ada karena yang lain.

Secara umum berpikir dapat didefinisikan sebagai perkembangan idea dan konsep. Dalam metafisika, berpikir adalah sebuah proses kerja akal budi ketika menangkap pengalaman (realita) untuk menemukan sebuah kebenaran tentang realita atau pengalaman itu sendiri. Apa yang ditangkap oleh pikiran termasuk penginderaan dari segenap pengalaman manusia dari lingkungan dimana ia berada sesungguhnya adalah bersifat mental. Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluncur ke bintang- bintang, menembus galaksi dan awan-gemawan, maka metafisika adalah landasan peluncurnya.

Dalam berpikir menemukan kebenaran manusia melakukan penalaran yakni berpikir melalui cara-cara yang logis dan sistematis. Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama adalah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir logis dalam arti melakukan sebuah kegiatan berpikir menurut suatu pola atau logika tertentu. Ciri kedua dari penalaran adalah, sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis, dan kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan.

Berdasarkan kriteria penalaran tersebut, dapat dikatakan bahwa kegiatan berpikir yang tidak logis dan tidak analitis tidak termasuk ke dalam penalaran. Corak berpikir yang seperti ini terlepas dari aturan apapun karena sangat subyektif, bersifat dlarûriy (tak terpikirkan) dan tidak terukur. Misalnya, perasaan enak , tidak enak, senang, atau benci dan intuisi merupakan suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran. Seperti halnya intuisi, manis panas dan sebagainya adalah termenologi yang diberikan oleh manusia kepada gejala yang ditangkap melalui pancaindra. Rangsangan pancaindra ini disalurkan ke otak tanpa melalui proses berpikir nalar, dapat menghadirkan gejala tersebut melalui proses kimia-fisika. Dalam hal ini menurut aliran monistik, sebagai salah satu aliran dalam psikologi yang berpendapat tidak membedakan antara pikiran dan zat, proses berpikir dianggap sebagai aktivitas elektrokimia dari otak. Bagi aliran ini, berpikir adalah sebuah kegiatan aparat-aparat dari otak secara mekanik.

Sebagai proses elektrokimia, maka berpikir adalah bebas nilai karena pembatasnya adalah logika yang merupakan cara penarikan kesimpulan dalam berpikir, sehingga dalam proses menemukan kebenaran, validitas sebuah hasil dari proses berpikir selalu ditentukan dan diukur dengan cara-cara tertentu secara logik baik dengan menggunakan logika deduksi maupun logika induksi. Begitu pula secara ontologis maupun secara epistemologis, ilmu sebagai hasil dari proses berpikir secara logis dan sistematis juga bebas nilai secara total. Mengapa, karena kebenaran dalam ilmu diukur dengan realita yang konkrit dan melalui cara berpikir yang logis yang biasa disebut metode ilmiah, sehingga kebenaran ilmiah adalah sebuah kebenaran yang dapat dibuktikan dan dapat diuji kembali.

Secara aksiologi ketika ilmu sebagai anak kandung akal yang lahir melalui proses berpikir dihadapkan pada masalah moral, ketika ternyata ilmu dan teknologi membawa ekses yang merusak kehidupan, misalnya, senjata biologi, pengembangan uranium untuk membuat bom dan sebagainya, para ilmuwan terbagai ke dalam dua pendapat.

Pendapat pertama, menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai baik secara ontologis maupun aksiologis. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada waktu era Galileo Galilie. Tugas ilmuwan adalah berpikir secara nalar untuk menemukan pengetahuan. Adapun penggunaanya sepenuhnya terserah pada pengguna. Manusialah yang menentukan baik dan buruknya ilmu. Pada tataran ini Ilmu tidak mau bahkan tidak peduli dengan wahyu (agama).

Pendapat kedua, sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan (ontologi) dan epistemologi, sedangkan dalam penggunaannya (aksiologi) harus berlandaskan pada asas-asas moral termasuk moral agama yang bersumber dari wahyu. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika manusia menyadari bahwa manusia seyogyanya mengontrol pikirannya dengan moral. Karel Jaspers mengatakan bahwa ilmu adalah usaha manusia untuk mendengarkan jawaban-jawaban yang keluar dari dunia yang dihuninya. Di sinilah lengketnya etika dengan ilmu. Ilmu bukan tujuan tetapi sarana, karena hasrat akan kebenaran itu berhimpit dengan etika pelayanan bagi sesame manusia dan tanggungjawab secara agama.

Sebagai illustrasi, Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihyâ Ulûm al-Dîn, ia mengkritik fiqh sebagai ilm al-dunyâ. Rumusan kerangka teoritik fiqh yang formalistik telah kehilangan aspek etiknya sehingga ilmu fiqh seakan-akan telah menjadi ilmu yang netral etik. Ia mengatakan bahwa sering ditemukan anggapan bahwa suatu ilmu itu nampaknya tergolong terpuji (mahmûdah) padahal sebenarnya ilmu itu tercela (madzmûmah). Kalau kita tarik pada ranah filosofi sesungguhnya cara pandang al-Ghazali terhadap ilmu fiqh (sebagai bagian dari ilmu secara umum) sangat menekankan aspek aksiologisnya yakni kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat. Dengan demikian, akal sebagai peretas ilmu (sain) betapapun hebatnya tidak boleh meninggalkan bahkan harus mau dikontrol oleh wahyu sebagai pembawa pesan moral agar akal dan ilmu sebagai anak kandungnya menjadi meaningful bukan meaningless.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar