Jumat, 09 Januari 2009

EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Yusuf Qardhawi (1995) sendiri menyatakan bahwa tidak ada satupun agama langit atau bumi yang memuliakan perempuan seperti Islam memuliakan, memberikan hak, menyayangi dan memeliharanya, baik sebagai anak perempuan, perempuan dewasa, ibu, dan anggota masyarakat. Islam memuliakan perempuan sebagai manusia yang diberi tugas dan tanggung jawab yang utuh seperti halnya laki-laki yang kelak akan mendapatkan pahala atau siksa sebagai balasannya.
Allah swt berulangkali menyebutkan prinsip kesetaraan dalam Islam, di antaranya pada surat:
• Ali Imran ayat 195: “Allah tidak menyia-nyiakan amal laki-laki dan perempuan” dan ayat 124: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia orang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun”
• An Nahl ayat 97: “Barangsiapa mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”
• Al Ahzab ayat 35: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berkuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah akan menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”

Namun sangat disayangkan bahwa masih banyak umat Islam yang merendahkan kaum perempuan dengan cara mengurangi hak-haknya serta mengharamkannya dari apa-apa yang telah ditetapkan syara’. Padahal, syariat Islam sendiri telah menempatkan perempuan pada proporsi yang sangat jelas, yaitu sebagai manusia, sebagai perempuan, anak perempuan, istri atau ibu. Hal yang lebih memprihatinkan, sikap merendahkan perempuan tersebut sering disampaikan dengan mengatasnamakan agama (Islam), padahal Islam bebas dari semua itu
Islam hadir di dunia untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidakadilan. Jika ada norma yang dijadikan pegangan oleh masyarakat, tetapi tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan, norma itu harus ditolak. Demikian pula bila terjadi berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Praktik ketidakadilan dengan menggunakan dalil agama adalah alasan yang dicari-cari. Sebab, menurut Al Quran, hubungan antar manusia di dalam Islam didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan, persaudaraan dan kemaslahatan.

Prinsip-prinsip Kesetaraan Jender dalam Al-Qur'an
Ada beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai standar dalam menganalisis prinsip-prinsip kesetaraan jender dalam Al-Qur'an. Variabel-variabel tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Laki-laki dan Perempuan Sama-sama sebagai Hamba
Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan (QS. Az-Dzariyat/51:56). Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal, yaitu dalam Al-Qur'an biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa, dan untuk mencapai derajat bertaqwa ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu. Dalam kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya (Q.S. al-Nahl/16:97).

2. Laki-laki dan Perempuan sebagai Khalifah di Bumi
Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi, selain untuk menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah swt, juga untuk menjadi khalifah di bumi (QS. Al-An'am/6:165). Kata Khalifah tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.

3. Laki-laki dan Perempuan Menerima Perjanjian Primordial
Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya (QS. Al-A’raf/7:172).

Menurut Fakhr al-Razi, tidak ada seorangpun anak manusia lahir di muka bumi yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan, dan ikrar mereka disaksikan oleh para malaikat. Tidak ada seorangpun yang mengatakan "tidak". Dalam Islam, tanggung jawab individual dan kemandirian berlangsung sejak dini, yaitu sejak dalam kandungan. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama.
Rasa percaya diri seorang perempuan dalam Islam seharusnya terbentuk sejak lahir, karena sejak awal tidak pernah diberikan beban khusus berupa "dosa warisan" seperti yang dikesankan di dalam tradisi Yahudi-Kristen, yang memberikan citra negatif begitu seseorang lahir sebagai perempuan. Dalam tradisi ini, perempuan selalu dihubungkan dengan drama kosmis, di mana Hawa dianggap terlibat di dalam kasus keluarnya Adam dari surga, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Kejadian (3:12). Sebagai sanksi terhadap kesalahan perempuan itu, maka kepadanya dijatuhkan sanksi seperti disebutkan dalam Kitab kejadian 3:16 dan Kitab Talmud.
Ini berbeda dengan Al-Qur'an yang mempunyai pandangan positif terhadap manusia, Al-Qur'an menegaskan bahwa Allah memuliakan seluruh anak cucu Adam (Q.S. Al-Isra/17:70).
Dalam Al-Qur'an, tidak pernah ditemukan satupun ayat yang menunjukan keutamaan seseorang karena faktor jenis kelamin atau karena keturunan suku bangsa tertentu. Kemandirian dan otonomi perempuan dalam tradisi Islam sejak awal terlihat begitu kuat.
Dalam tradisi Islam, perempuan mukallaf dapat melakukan berbagai perjanjian, sumpah dan nazar, baik kepada sesama manusia maupun kepada Tuhan. Tidak ada suatu kekuatan yang dapat menggugurkan janji, sumpah atau nazar mereka (Q.S. Al-Ma'idah/5:89).
Pernyataan ayat ini jelas berbeda dengan pernyataan Alkitab yang mengisyaratkan subordinasi perempuan dari laki-laki, yakni anak perempuan dalam subordinasi dari ayahnya dan istri subordinasi dari suaminya. Dalam tradisi Islam, ayah dan suami juga mempunyai otoritas khusus tetapi tidak samapi mencampuri urusan komitmen pribadi seorang perempuan dengan Tuhannya. Bahkan dalam urusan-urusan keduniaan pun perempuan memperoleh hak-hak sebagaimana halnya yang diperoleh kali-laki. Dalam suatu ketika, Nabi Muhammad didatangi oleh sekelompok perempuan untuk menyatakan dukungan politik (bai'ah), maka peristiwa langka ini menyebabkan turunnya Q.S. al-Mumtahanah/60:12.

4. Adam dan Hawa, Terlibat secara Aktif dalam Drama Kosmis
Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, seperti dapat dilihat dalam beberapa kasus berikut ini:
1. Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (Q.S. Al-Baqarah/2:35)
2. Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari syaitan (Q.S. Al-A'raf/7:20)
3. Sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat jatuh ke bumi (Q.S. al-A'raf/7:22)
4. Sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (Q.S. Al-A'raf/7:23)
5. Setelah di bumi, keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi dan saling membutuhkan (Q.S. Al-Baqarah/2:187).
Adam dan Hawa disebutkan secara bersama-sama sebagai pelaku dan bertanggung jawab terhadap drama kosmis tersebut. Jadi, tidak dapat dibenarkan jika ada anggapan yang menyatakan perempuan sebagai mahluk penggoda yang menjadi penyebab jatuhnya anak manusia ke bumi penderitaan.

5. Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Berpotensi Meraih Prestasi
Dalam hal peluang untuk meraih prestasi maksimum, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana ditegaskan secara khusus di dalam tiga ayat Al-Qur'an (Q.S. Ali Imran/3:195, Q.S. An-Nisa/4:124 dan Q.S. Mu’min/40:40). Ayat-ayat ini mengisyaratkan konsep kesetaraan jender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal. Namun, dalam kenyataan di masyarakat, konsep ideal ini masih membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan.
Salah satu obsesi Al-Qur'an ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam Al-Qur'an mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Karena itu, Al-Qur'an tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa dan kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis kelamin. Jika terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka hasil pemahaman dan penafsiran tersebut terbuka untuk diperdebatkan.