Senin, 14 September 2009

PUASA DALAM KONTEKS SOSIAL

Puasa sebagai ibadah yang dilakukan umat islam, sebenarnya tidak sekedar ibadah pribadi kita kepada allah swt, yang notabene hanya ritual individu kepada tuhannya. Puasa justru melatih sosial-sense kita sebagai manusia. Hal tersebut dapat terlihat dari aktivitas yang dilakukan seorang shoim (orang yang berpuasa). Menahan diri tidak makan dan minum merupakan contoh

Minggu, 13 September 2009

Makna IDUL FITRI

Di negara Indonesia, Hari Raya Idul Fithri juga merupakan puncak pengalaman hidup sosial dan spiritual keagamaan masyarakat Indonesia. Dapat dikatakan bahwa seluruh kegiatan masyarakat selama satu tahun diarahkan untuk dapat merayakan hari besar itu dengan sebaik-baiknya. Mereka bekerja dan banyak yang menabung untuk kelak mereka nikmati pada saat tibanya Idul Fithri.

Hari raya yang juga disebut lebaran itu sebanding dengan perayaan Thanks Giving Day di Amerika Serikat, saat rakyat negeri itu bersuka-ria dengan bersyukur kepada Tuhan bersama seluruh keluarga. Gerak mudik rakyat Indonesia juga mirip sekali dengan yang terjadi pada orang-orang Amerika menjelang Thanks Giving Day itu. Semuanya merasakan dorongan amat kuat untuk bertemu ayah-ibu dan sanak saudara, karena justru dalam suasana keakraban kekeluargaan itu hikmah Idul Fithri atau Thanks Giving Day dapat dirasakan sepenuh-penuhnya.

Sebagai hari raya keagamaan, Idul Fithri pertama-tama mengandung makna keruhanian. Tapi karena dimensi sosialnya sedemikian besarnya, khususnya dimensi kekeluargaannya, maka Idul Fithri juga memiliki makna sosial yang amat besar. Dan juga dilihat dari segi bagaimana orang bekerja dan menabung untuk berlebaran, Idul Fithri juga mempunyai makna ekonomis yang besar sekali bagi masyarakat Indonesia. Cukup sebagai indikasi tentang hal itu ialah bagaimana daerah-­daerah tertentu memperoleh limpahan ekonomi dan keuangan dari para pemudik, sehingga pemerintah daerah bersangkutan merasa perlu menyambut dan mengelu-elukan kedatangan warganya yang bekerja di kota-kota besar itu.

PENGERTIAN IDUL FITHRI

Makna keruhanian Idul Fithri dapat dipahami dengan baik jika kita dapat melihatnya dari sudut pandang keagamaan yang melatarbelakanginya. Seperti halnya dengan semua pranata keagamaan, Idul Fithri berkaitan langsung dengan ajaran dasar Islam. Karena itu makna Idul Fithri merupakan rangkuman nilai-nilai Islam dalam sebuah kapsul kecil, dengan muatan simbolik yang sangat sentral.

Mayoritas umat Islam mengartikan Idul Fithri dengan arti "kembali menjadi suci ", pendapat ini didasari oleh sebuah hadits Rasullullah SAW yaitu :

“Barang siapa yang melaksanakan ibadah shaum selama satu bulan dengan penuh keimanan kepada Allah SWT maka apabila ia memasuki Idul Fithri ia akan kembali menjadi Fithrah seperti bayi (Tiflul) dalam rahim ibunya " (HR Bukhari )

Kalau ditilik kembali, pendapat yang mengartikan idul Fithri dengan "kembali menjadi suci" tidak sepenuhnya benar, karena kata "Fithri" apabila diartikan dengan "Suci" tidaklah tepat. Sebab kata "Suci" dalam bahasa Arabnya adalah "Al Qudus" atau "Subhana". Oleh karena itu, menurut penulis istilah Idul Fithri dapat ditelusuri minimal dalam tiga pengertian yaitu sebagai berikut:

Untuk memperoleh pengertian itu kita bisa memulainya dengan melihat makna asal ungkapan Arab id al-fithr. Kata id berasal dari akar kata yang sama dengan kata `awdah atau `awdat-un, `adab atau adat-un dan isti'adat-un. Semua kata-kata itu mengandung makna asal "kembali" atau "terulang" (perkataan Indonesia "adat-istiadat" adalah pinjaman dari bahasa Arab `adat-un wa isti 'adat-un yang berarti sesuatu yang selalu akan terulang dan diharapkan akan terus terulang, yakni, sebagai "adat kebiasaan"). Dan hari raya diistilahkan sebagai id karena ia datang kembali berulang-ulang secara periodik dalam daur waktu satu tahun.

Makna asal kata-kata "fithri" kiranya sudah jelas, karena satu akar dengan kata "fitrah" (fithrah), yang artinya "Pencipta" atau "Ciptaan". Secara kebahasaan, fithrah mempunyai pengertian yang sama dengan khilqah, yaitu "ciptaan" atau "penciptaan". Tuhan Yang Maha Pencipta disebut dengan A-Khaliq, atau Al-Fathir. Sebagai contoh, misalnya kita lihat dalam Al Qur'an :

" Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi". (QS Al Fathir 35 : 1)

Berdasarkan uraian diatas maka penulis menyimpulkan bahwa kata "Idul Fithri" mempunyai minimal tiga pengertian yaitu :

1. Kembali ke Awal Penciptaan.

2. Kembali ke Penciptaan Yang Awal.

3. Kembali ke Sang Maha Pencipta.

IDUL FITHRI SEBAGAI PROSES KE AWAL PENCIPTAAN

Menurut para ahli tasawuf, hakikat manusia dibagi menjadi dua bangunan utama yaitu bangunan jasmani dan bangunan rohani. Bangunan jasmani manusia diciptakan oleh Allah melalui enam proses kejadian yaitu :

1. Saripati tanah.

2. Saripati mani.

3. Segumpal darah.

4. Segumpal daging.

5. Pertumbuhan tulang belulalang.

6. Pembungkusan tulang belulang dengan daging.

7. Peniupan Roh-Ku ke dalam janin.

Proses tersebut sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur'an yaitu :

"Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dari saripati tanah. Kami jadikan saripati tanah itu menjadi air mani yang ditempatkan dengan kokoh ditempat yang teguh. Kemudia air mani itu Kami jadikan segumpal darah., dari segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, Kami jadikan pula tulang belulang. Kemudian tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging kembali ". (QS Al Mu'minun 23 : 12 – 14 )

"Kemudian Ia menyempurnakan penciptaan-Nya dan Ia tiupkan padanya sebagian dari Roh-Nya dan Ia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa, tetapi sedikit sekali kamu bersyukur". (QS As Sajadah 32 : 9)

Berdasarkan firman Allah tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa setiap manusia lahir atau diciptakan pasti akan melalui proses kejadian bayi dalam kandungan yang telah mendapat tiupan Roh dari Allah (Roh-Ku).

Berdasarkan penyelidikan para ahli embriologi, dapat diketahui fase-fase perkembangan seorang bayi dalam kandungan dan juga keadaan dan ciri-ciri dari bayi tersebut yaitu :

Seorang bayi dalam kandungan selalu dibungkus oleh lapisan Amnion yang berisi air ketuban (amnion water atau kakang kawah). Karena seorang bayi berada didalam air ketuban, maka sembilan lubang yang ada pada jasmaninya secara otomatis tertutup atau belum berfungsi secara sempurna. Kesembilan lubang itu adalah : dua lubang telinga, dua lubang mata, dua lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang kemaluan dan satu lubang anus. Tetapi ada satu lubang yang kesepuluh yang justru terbuka yaitu lubang pusar yang dihubungkan oleh tali plasenta ke rahim ibu. Tali plasenta ini berfungsi sebagai alat untuk menyalurkan zat-zat makanan dan oksigen dari rahim ibu kepada bayi tersebut. Dalam falsafah orang Jawa tali plasenta tersebut dinamakan Adik Ari-ari.

Dengan tertutupnya sembilan lubang yang terdapat pada jasmani seorang bayi dalam kandungan rahim ibu, maka secara otomatis seluruh indera bayi belum berfungsi secara sempurna, dengan kata lain, bayi tersebut pada saat itu belum bisa melihat, mendengar, bernafas, berkata-kata secara sempurna, dan juga belum bisa buang air besar maupun buang air kecil. Tetapi Rohani bayi tersebut pada saat itu sudah berfungsi sifat ma'aninya. Apa yang dirasakan oleh bayi pada saat berada dalam rahim ibu, tidak seorangpun mengetahuinya, kecuali oleh bayi itu sendiri. Sayangnya setiap bayi yang telah tumbuh dewasa tidak dapat mengingat apa yang telah ia rasakan pada waktu ia berada dalam kandungan rahim ibunya.


IDUL FITHRI SEBAGAI PROSES KEMBALI KE PENCIPTAAN YANG AWAL

Dalam pengertian ini, semua segi kehidupan seperti makan, minum, tidur, dan apa saja yang wajar, tanpa berlebihan, pada manusia dan kemanusiaan adalah fitrah. Semuanya itu bernilai kebaikan dan kesucian, karena semuanya berasal dari design penciptaan oleh Tuhan. Karena itu berbuka puasa atau "kembali makan dan minum" disebut ifthar, yang secara harfiah dapat dimaknakan "memenuhi fitrah" yang suci dan baik. Dengan perkataan lain, makan dan minum adalah baik dan wajar pada manusia, merupakan bagian dari fithrahnya yang suci. Dari sudut pandang ini kita mengerti mengapa Islam tidak membenarkan usaha menempuh hidup suci dengan meninggalkan hal-hal yang wajar pada manusia seperti makan, minum, tidur, berumah tangga, dan seterusnya. Berkenaan dengan ini Nabi Saw pernah memberi peringatan keras kepada salah seorang sahabat beliau, bernama `Utsman ibn Mazh'um', yang ingin menempuh hidup suci dengan tindakan semacam pertapaan. Nabi juga dengan keras menolak pikiran sementara sahabat beliau yang ingin menempuh hidup tanpa kawin. Semua tindakan meninggalkan kewajaran hidup manusia adalah tindakan melawan fithrah, jadi juga tidak sejalan dengan sunnah.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam hari raya Idul Fithri terkandung makna kembali kepada hakikat yang wajar dari manusia dan kemanusiaan. Kewajaran itu adalah pemenuhan keperluan untuk makan dan minum sehingga makna sederhana Idul Fithri dapat diartikan "Hari Raya Makan dan Minum" setelah berpuasa sebulan.

IDUL FITHRI SEBAGAI PROSES KEMBALI KE SANG MAHA PENCIPTA

Jika kita telusuri ke belakang, pangkal mula pengertian Idul Fithri ialah ajaran dasar agama bahwa manusia diciptakan Allah dalam fitrah kesucian dengan adanya ikatan perjanjian antara Allah dan manusia sebelum manusia itu lahir ke bumi. Perjanjian primordial itu berbentuk kesediaan manusia dalam alam ruhani untuk mengakui dan menerima Allah, (Tuhan Yang Maha Esa), sebagai "Pangeran" atau "Tuan" baginya yang harus dihormati dengan penuh ketaatan dan sikap berserah diri yang sempurna (Islam). Hal ini digambarkan dalam al-Qur'an, demikian :

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengambil dari anak-cucu Adam, yaitu dari pungung-punggung mereka, keturunan mereka dan dia mempersaksikan atas diri mereka sendiri, "Bukankah Aku ini

Tuhan kamu? ‘ Mereka semua menjawab :” Benar, kami bersaksi”. Demikianlah, supaya kamu tidak berkata kelak pada hari kiamat : "sesungguhnya kami lalai tentang hal ini” (QS Al A 'raf 7 : 127)

Karena setiap jiwa manusia menerima perjanjian persaksian itu, maka setiap orang dilahirkan dengan pembawaan alami untuk "menemukan" kembali Tuhan dengan hasrat berbakti dan berserah diri kepada-Nya ("ber-islam"). Melalui wahyu kepada Rasulnya, Allah mengingatkan akan adanya perjanjian itu, akan kelak di hari kiamat, ketika setiap jiwa menyaksikan akibat amal perbuatannya sendiri yang tidak menyenangkan, dikarenakan tidak mengenal Tuhannya, janganlah mengajukan gugatan kepada Tuhan dengan alasan tidak menyadari akan adanya perjanjian itu. Sebab, terkias dengan dunia bawah sadar dalam susunan kejiwaan kita, perjanjian primordial tersebut tidak dapat kita ketahui dan rasakan dalam alam kesadaran, tetapi tertanam dalam bagian diri kita yang paling dalam, yaitu ruhani kita. Maka kita semua sangat rawan untuk lupa dan lalai kepada kenyataan ruhani.

"Sesungguhnya merugilah orang-orang yang mendustakan akan menemui Allah sehingga apabila datang Hari Berbangkit dengan tiba-tiba mereka berkata : "Aduhai penyesalan kami atas kelengahan kami (karena tidak mau menemui Allah ketika masih hidup) di dunia" Sungguh mereka memikul dosa, amat berat apa yang mereka pikul itu ". (QS Al An 'am 6 : 31)

Biarpun jauh sekali berada dalam bagian-bagian dasar kedirian kita, yang berhubungan dengan alam kejiwaan bawah sadar, namun karena adanya perjanjian primordial itu maka kesadaran kita tetap mempengaruhi seluruh hidup kita. Adanya perjanjian primordial itu, yang sama dengan alam bawah sadar, merupakan asal muasal pengalaman tentang kebahagiaan dan kesengsaraan. Kita dapat periksa secara analitis kedirian kita yang terdiri dari paling tidak tiga jenjang kewujudan : pertama, wujud kebendaan atau jasmani (jimani, fisiologis); kedua, wujud kejiwaan atau nafsani (nafsani, psikologis); dan ketiga, wujud kesukmaan atau ruhani (ruhani, spiritual). Pengalaman bahagia atau sengsara yang berpangkal dari keberhasilan atau kegagalan memenuhi perjanjian dengan Tuhan adalah merupakan pengalaman ruhani.

Keutuhan atau keterpecahan psikologis merupakan pangkal pengalaman senang atau susah yang lebih tinggi dan mengatasi perasaan nyaman dan tidak nyaman oleh keadaan badan yang sehat atau sakit. Dan pengalaman bahagia atau sengsara dalam dimensi ruhani mengatasi dan lebih tinggi dari pada pengalaman manapun, psikologis, apalagi fisiologis, hidup manusia. Jadi juga lebih hakiki, lebih abadi, dan lebih wujud dari pada lain-lainnya itu.

Semua pengalaman fisiologis nyaman atau tidak nyaman, pengalaman psikologis senang atau tidak senang, dan pengalaman spiritual bahagia atau tidak bahagia selalu terkait dengan terpenuhi atau tidak terpenuhi hasrat untuk kembali kepada asal. Sejak dari bayi yang merindukan ibunya dan merasa tenteram setelah berkumpul dengan ibunya itu, sampai kepada kerinduan setiap orang untuk berkumpul dengan keluarganya dan kembali ke kampung halaman tempat ia dilahirkan atau dibesarkan (yang merupakan dasar kejiwaan dorongan "mudik", baik saat lebaran di Indonesia maupun saat Thanks Giving Day di Amerika), hasrat untuk kembali ke asal itu langsung berkaitan dengan pengalaman-pengalaman mendalam pada masing-masing diri manusia.

Hasrat untuk kembali yang paling hakiki ialah hasrat untuk kembali menemui Tuhan, asal segala asal hidup manusia. Terkias dengan hasrat seorang anak untuk kembali kepada orang tuanya yang diwujudkan dalam keinginan naluriah untuk berbakti kepada keduannya, hasrat untuk kembali kepada Tuhan juga disertai dengan keinginan naluriah untuk berbakti atau menghambakan diri ('abda, ber-ibadah) dan berserah diri (aslama, ber-Islam) kepada-Nya. Tidak ada bakat atau pembawaan manusia yang lebih asli dan alami dari pada hasrat untuk menyembah dan berbakti. Karena itu semua, maka ada ungkapan suci, "Kita semua berasal dari Allah dan kita semua kembali kepada-Nya" (QS 2:156). Karena itu wajar sekali bahwa seruan dalam Kitab Suci agar semua manusia kembali (ber-inabah) kepada Tuhan sekaligus dibarengi dengan seruan untuk berserah diri (ber-islam) kepada-Nya.

Mengapa Islam Turun Di Zajirah Arab..?

Islam sebagai syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad diturunkan dan mengalami masa formasinya di tanah Arab? Mengapa disana padahal Islam adalah untuk seluruh alam? Mengapa bukan di Roma, di Cina, atau di Asia Tenggara?

Dengan diturunkannya Islam di Arab, maka Islam kemudian menjadi sangat terkait dan tidak dapat dilepaskan dari kearaban. Sebagaimana diketahui, keseluruhan bangunan Islam bukanlah bangunan yang sama sekali baru, yang didatangkan untuk mengganti sama sekali bangunan lama (baca: bangunan Arab). Islam datang hanya untuk memperbaiki yang rusak, menambah atau melengkapi yang kurang, dan tetap melestarikan yang lama atau yang sudah ada. Dengan kata lain, Islam datang untuk melakukan konservasi terhadap tradisi lama Arab yang masih baik, disamping melakukan revisi dan penyempurnaan. Terutama dalam hal konservasi tradisi lama, akan muncul sebuah pertanyaan “Bagaimana jadinya andaikata Islam turun di Cina”? Tentunya, bangunan Islam akan berupa ajaran Cina yang direvisi dan disempurnakan !!

Dari titik inilah kita merasa perlu untuk tahu mengapa yang dipilih adalah Arab dan bukan yang lain. Sebagian orang memberikan jawaban, terutama ditujukan untuk anak-anak, bahwa Arab dipilih karena saat itu masyarakatnya merupakan masyarakat yang paling rusak.

Tentu saja, kemudian orang akan bertanya,”Memangnya kenapa kalau masyarakatnya paling rusak? Bukankah itu malah akan menguras banyak tenaga? Kalau Islam turun ke bumi bertujuan untuk membentuk sebuah sistem hidup yang sempurna, bukankah akan lebih efisien kalau wilayah formasinya adalah wilayah yang sudah mendekati kesempurnaan itu sendiri, artinya yang justru kebobrokan masyarakatnya paling kecil?” Dari pertanyaan tersebut, kita bahkan akan berpikiran lain,”Jangan-jangan, justru masyarakat Arab saat itu merupakan masyarakat yang paling mendekati kesempurnaan itu, yang tentu saja akan menjadi ladang yang sangat baik bagi tumbuhnya tanaman yang bernama Islam”.

Dugaan lebih lanjut tentang alasan turunnya Islam di Arab berkaitan dengan persoalan bahasa. Kitab suci Islam dan Sunnah Nabi, yang merupakan sumber dan pokok seluruh ajaran Islam, dituturkan dalam bahasa Arab. Jangan-jangan ini disebabkan oleh kesempurnaan atau keistimewaan bahasa Arab sehingga dapat menjadi sarana yang baik untuk menjelaskan Islam secara tepat dan efektif, tanpa bias yang signifikan. Al-Qur’an sendiri menjelaskan bahwa ia diturunkan dalam bahasa Arab yang amat efektif untuk menjelaskan dan menerangkan (bilisanin ‘arabiyyin mubin).

Barangkali ada juga yang ingin mengatakan bahwa Islam diturunkan di Arab karena Arab saat itu terletak dalam apitan dua adikuasa sekaligus mercusuar peradaban dunia, yakni Romawi mewakili dunia Barat dan Persia mewakili dunia Timur. Meskipun berada dalam apitan keduanya, tanah Arab tempat Islam diturunkan diakui oleh para sejarawan sebagai tanah yang tak terjamah, dalam pengertian belum sempat terjajah, terlepas dari kondisi geografisnya yang memang tidak menarik hasrat kaum penjajah. Karena masyarakat Arab belum pernah dijajah maka mereka pun belum sempat tenggelam dan larut dalam pemikiran, ideologi, dan mitos yang disusupkan oleh kaum penjajah. Karena itulah maka masyarakat Arab saat itu disebut sebagai masyarakat ummi. Barangkali akan lebih mudah menyebarkan pemikiran dalam suatu masyarakat yang pemikirannya masih relatif sederhana dan belum sarat dengan ideologi produk manusia, daripada melakukannya dalam suatu masyarakat yang sudah menganut berbagai pemikiran yang beraneka ragam. Dalam kondisi yang belakangan disebut, sangat dimungkinkan akan terjadi diskursus yang lebih alot.

Secara psikologis, para sosiolog mengatakan bahwa masyarakat Arab saat itu adalah masyarakat yang merdeka dalam berpikir, menjunjung tinggi harga diri, dan tidak suka terbelenggu dibawah pengaruh orang lain, meskipun di sisi lain mereka memiliki fanatisme kesukuan yang sangat tinggi. Kemerdekaan berpikir ini barangkali akan sangat kondusif bagi diterimanya pemikiran Islam yang masih asing bagi mereka. Namun perlu dicatat bahwa meskipun masyarakat Arab saat itu memiliki kemerdekaan berpikir yang cukup besar namun mereka juga sangat suka berlaku taqlid (dogmatis).

Berbagai dugaan yang dikemukakan diatas memang cukup divergen, karenanya tidak harus disimpulkan atau dikerucutkan.

Dewasa ini, banyak orang yang secara kritis ingin melakukan pemilahan antara Islam yang sebenarnya dan nilai-nilai kearaban yang sebetulnya bukan kekhasan ajaran Islam. Mereka beranggapan bahwa nilai-nilai kearaban tidak bersifat universal, berbeda dengan materi Islam yang bersifat universal.

Apabila Islam ketika masih berada di langit sudah mencanangkan sistem ajaran tertentu sementara di bumi terdapat suatu wilayah dan masyarakat yang sedikit banyak sudah bersesuaian dengan sistem di langit tersebut, maka tindakan yang paling efisien adalah menurunkan sistem langit tersebut di bagian bumi tersebut. Bagaimana jika bagian bumi yang memiliki persesuaian paling banyak adalah Arab? Tentu saja karenanya kita tidak perlu membedakan antara nilai-nilai regional yang ada dan nilai-nilai langit yang bersifat baru bagi masyarakat di wilayah tersebut. Dalam kondisi semacam ini, nilai-nilai yang awalnya bersifat regional pada dasarnya merupakan nilai-nilai yang dimaksudkan untuk menjadi nilai-nilai universal dan interregional, bagi semua manusia.

Apabila pemikiran yang belakangan ini kita terima, bukan berarti kemudian secara total kita mesti menganggap bahwa segala yang berasal dari Arab adalah Islam. Dalam tataran dan batas-batas tertentu, memang ada hal-hal Arab yang memang khas Arab dan tidak untuk selain Arab. Apabila ini menyangkut aspek ruang maka parsialitas juga berlaku dalam aspek waktu. Tidaklah semua yang ada pada masa lalu itu harus ada pula pada masa sesudahnya (masa kini misalnya). Apabila dahulu orang bepergian jauh dengan unta, maka sekarang kita tidak harus melakukannya dengan cara yang sama pula. Dalam hal ini, kita harus bisa membedakan antara kawasan bid’ah dan yang bukan. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Hakikat Manusia Menurut Islam

Istilah manusia banyak dituliskan dalam bentuk yang berbeda-beda dalam al-quran. Ada istilah insan, naas, basar, bani adam, abdun, dll. pembedaan istilah ini tentunya juga mempunyai arti yang berbeda pula. Berikut ini akan dijelaskan apa sebenarnya manusia itu, dan dengan demikian kita bisa secara otomatis mampu memahami perbedaan-perbedaan istilah yang digunakan untuk mengungkap manusia.
Manusia adalah hamba Allah (’abdullah) dan khalifah di muka bumi. Sebagai hamba Allah, manusia berkewajiban untuk beribadah kepada-Nya. Sebagai khalifah di muka bumi, manusia berkewajiban untuk memakmurkan bumi, melakukan perbaikan (ishlah) diatasnya, dan tidak malah membuat kerusakan diatasnya. Manusia adalah salah satu dari dua tsaqalaani, yaitu dua makhluq yang dibebani dengan syariat dan harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya : jin dan manusia. Dua makhluq ini berbeda dengan segenap makhluq yang lain yang tidak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jin dan manusia memiliki pilihan untuk taat atau ingkar, sedangkan makhluq Allah yang lain tidak memiliki pilihan karena pilihan mereka hanya satu : taat kepada Allah. Langit dan bumi seluruhnya tunduk dan patuh kepada Allah secara sukarela, dengan cara mereka sendiri-sendiri. Sedangkan jin dan manusia ada yang taat dan ada pula yang ingkar. Dahulu kala Allah telah menawarkan amanah kekhalifahan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, dan semua menolaknya, akan tetapi manusia mau menerimanya. Oleh karena itu, manusia telah diberikan oleh Allah berbagai potensi untuk bisa mengemban tugas dan amanahnya tersebut. Jika seorang manusia sangat taat kepada Allah, derajatnya bisa lebih tinggi daripada malaikat, karena malaikat memang diciptakan untuk taat semata sementara manusia taat karena pilihannya. Akan tetapi jika seorang manusia ingkar kepada Allah, derajatnya bisa lebih rendah daripada binatang, karena binatang tidak memiliki akal pikiran sementara manusia memiliki akal pikiran.
Adam as, sebagi manusia pertama, diciptakan oleh Allah dari tanah. Kemudian Allah meniupkan ruh kedalam jasad tersebut sehingga terciptalah Adam sebagai manusia yang sempurna. Dahulu, ketika umat manusia masih dalam bentuk ruh, Allah telah mengikat perjanjian dengan manusia. Allah berkata,”Bukankah Aku adalah Rabb kalian?” Manusia menjawab,”Ya, kami menyaksikannya” (QS Al-A’raf : 172). Inilah perjanjian tauhid antara manusia dan Rabb-nya. Inilah fithrah manusia, yang masih dia bawa ketika ia baru dilahirkan.
Manusia memiliki ruh dan jasad. Jadi, manusia memiliki ’unsur langit’ (yaitu ruh) sekaligus ’unsur bumi’ (yaitu jasad). Ruh cenderung menarik manusia kepada Penciptanya, sedangkan jasad cenderung menarik manusia kepada kecenderungan hewani. Kedua kecenderungan itu harus diseimbangkan.
Manusia mengalami lima fase perjalanan kehidupan : alam azali (sewaktu masih berupa ruh), alam rahim (ketika berada dalam kandungan ibunya), alam dunia, alam barzakh (alam kubur), dan alam akhirat yang kekal. Demikianlah. Manusia dahulunya mati (sebelum dilahirkan), kemudian dihidupkan (di dunia ini), kemudian dimatikan lagi (di alam kubur), dan nanti akan dihidupkan lagi selama-lamanya (di akhirat) sampai dengan waktu yang Allah kehendaki. Manusia dihidupkan di dunia ini untuk diuji : mana yang mukmin dan mana yang kafir, mana yang taat dan mana yang ingkar. Dan masa ujian ini amatlah pendek, sehingga manusia harus benar-benar cermat dalam memanfaatkan setiap detik waktu dalam kehidupannya di dunia ini. Dunia ini adalah masa menanam bagi manusia, sedangkan akhirat adalah masa menuai.