Sabtu, 31 Juli 2010

Artikel : Misteri Lailatul Qadr

Berbicara tentang Lailat Al-Qadar mengharuskan kita berbicara tentang surat Al-Qadar. Surat Al-Qadar adalah surat ke-97 menurut urutannya dalam Mushaf. Ia ditempatkan sesudah surat Iqra’. Para ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surat Iqra’. Bahkan sebagian di antara mereka menyatakan bahwa surat Al-Qadar turun setelah Nabi Saw. berhijrah ke Madinah. Penempatan urutan surat dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah Swt dan dari perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan.

Kalau dalam surat Iqra’ Nabi Saw (demikian pula kaum Muslim) diperintahkan untuk membaca, dan yang dibaca itu antara lain adalah Al-Quran, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat Al-Qadar ini berbicara tentang turunnya Al-Quran, dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Quran.

Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan, salah satunya adalah Lailat Al-Qadar, suatu malam yang oleh Al-Quran “lebih baik dari seribu bulan”. Tetapi apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali saja yakni malam ketika turunnya Al-Quran 15 abad yang lalu, atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang masa? Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya, dan benarkah ada tanda-tanda fisi material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air, heningnya malam, dan menunduknya pepohonan dan sebagainya)? Bahkan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering muncul berkaitan dengan malam Al-Qadar itu.

Yang pasti dan harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran bahwa, “Ada suatu malam yang bernama Lailat Al-Qadar, dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh berkah, dimana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan.”
Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang penah hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami (QS. Al-Dukhan: 3-5).
Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan (QS Al-Baqarah: 185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr: 1). Malam tersebut adalah malam mulia. Tidak mudah diketahui betapa besar kemuliaannya. Hal ini disyaratkan oleh adanya “pertanyaan” dalam bentuk pengagungan, yaitu:
“Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?” (QS. Al-Qadr: 2)

Tiga belas kali kalimat ma adraka terulang dalam Al-Quran, sepuluh diantaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang berkait dengan hari kemudian, seperti: Ma adraka ma yaum al-fashl, dan sebagainya. Kesemuanya merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. Tiga kali ma adraka sisa dari angka tiga belas itu adalah:

“Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?” (QS. Al-Thariq: 2)
“Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (QS. Al-Balad: 12)
"Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS. Al-Qadr: 2)
Pemakaian kata-kata ma adraka dalam Al-Quran berkaitan dengan objek pertanyaan yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat, dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Walaupun demikian, sementara ulama membedakan antara pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan Al-Quran dalam tiga ayat.
“Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah dekat waktunya?” (QS. Al-Ahzab: 63)
“Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat?” (QS. Al-Syura: 17)
“Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dan dosa)?” (QS. ‘Abasa: 3)
Dua ayat pertama di atas mempertanyakan dengan ma yudrika menyangkut waktu kedatangan kiamat, sedang ayat ketiga berkaitan dengan kesucian jiwa manusia. Ketiga hal tersebut tidak mungkin diketahui manusia.

Secara gamblang Al-Quran –demikian pula As-Sunnah– menyatakan bahwa Nabi Saw. tak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, tidak pula mengetahui tentang~perkara yang gaib. Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walau oleh Nabi Saw. sendiri. Sedang wa ma adraka, walau berupa pertanyaan namun pada akhirnya Allah Swt. menyampaikannya kepada Nabi Saw. sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau. Demikian perhedaan kedua kalimat tersebut.

Ini berarti bahwa persoalan Lailat Al-Qadar, harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw., karena disanalah kita dapat memperoleh informasinya. Kembali kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa arti malam Qadar, dan mengapa malam itu dinamai demikian? Disini ditemukan berbagai jawaban.
Kata qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:

Penetapan dan pengaturan, sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun). Al-Quran yang turun pada malam Lailat Al-Qadar, diartikan bahwa pada malam itu Allah Swt. mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya Muhammad Saw guna mengajak manusia kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia bai sebagai individu maupun kelompok.

Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran, serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadar yang berarti mulia ditemukan dalam surat Al-An’am: 9 yang berbicara tentang kaum musyrik:Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidakmenurunkan sesuatu pun kepada masyarakat.

Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr:Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh ((Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara lain dalam surat A1-Ra’d: 26: “Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya).
Ketiga arti tersebut pada hakikatnya dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan. Namun demikian, sebelum kita melanjutkan bahasan tentang Laitat Al-Qadar, maka terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya adakah setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu?

Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Lailat Al-Qadar. Akan tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran.
Pakar hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi Saw pernah bersabda bahwa malam qadar sudah tidak akan datang lagi. Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Lailat Al-Qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan Rasululllah Saw menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu, secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh Ramadhan.

Memang turunnya Al-Quran 15 abad yang lalu terjadi pada malam Lailat Al-Qadar, tetapi itu bukan berarti bahwa ketika itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri.

Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari’ (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.

Nah, apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun dugaan itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Disisi 1ain berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik-material, sedangkan riwayat-riwayat demikian, tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun takkan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat Al-Qadar tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang disana mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya?

Demikian juga dengan Lailat Al-Qadar. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya Rasul Saw menganjurkan sekaligus mempraktekkan i’tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam kehadirannya menjadi saat qadar dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).

Syaikh Muhammad ‘Abduh, menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. ‘Abduh memberi ilustrasi berikut:
Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, baik dan buruk. Manusia sering merasakan pertarungan antar keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan sesuatu. Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedang yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak, kata ‘Abduh, penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan.

Turunnya malaikat pada malam Lailatul Al-Qadar menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya, menjadikan yang bersangkutan akan selalu disertai oleh malaikat. Sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan, dan dia sendiri akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tak terbatas sampai fajar malam Lailat Al-Qadar, tapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak.

Di atas telah dikemukakan bahwa Nabi Saw menganjurkan sambil mengamalkan i’tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci. Segala aktivitas kebajikan bermula di masjid. Di masjid pula seseorang diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya, serta dapat menghindar dari hiruk pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengkayaan iman. Itu sebabnya ketika melaksanakan i’tikaf, dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan takwa.

Malam Qadar yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Ar-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia. Karena itu pula beliau mengajarkan kepada umatnya, dalam rangka menyambut kehadiran Lailat Al-Qadar itu, antara 1ain adalah melakukan i’tikaf.

Walaupun i’tikaf dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu berapa lama saja –bahkan dalam pandangan Imam Syafi’i, walau sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci– namun Nabi Saw selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa. Disanalah beliau bertadarus dan merenung sambil berdoa.

Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah: “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat, dan peliharalah kami dan siksa neraka”. (QS Al-Baqarah: 201)
Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.

Adapun menyangkut tanda alamiah, maka Al-Quran tidak menyinggungnya. Ada beberapa hadis mengingatkan hal tersebut, tetapi hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari, pakar hadis yang dikenal melakukan penyaringan yang cukup ketat terhadap hadis Nabi Saw.
Muslim, Abu Daud, dan Al-Tirmidzi antara lain meriwayatkan melalui sahabat Nabi Ubay bin Ka’ab, sebagai berikut: “Tanda kehadiran Lailat Al-Qadr adalah matahari pada pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar”.

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan: “Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan sedang purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula panas…”
Hadis ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan karena itu kita dapat berkata bahwa tanda yang paling jelas tentang kehadiran Lailat Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian dan ketenangan. Semoga malam mulia itu berkenan mampir menemui kita.

Sumber : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
Oleh : Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Selasa, 27 Juli 2010

Menakar Proporsionalitas Akal & Wahyu

Menakar Proporsionalitas Peran Akal dan Wahyu

Pendahuluan

Akal dengan segala kemampuannya untuk berpikir adalah kelebihan yang membedakan antara manusia dan makhluk lain. Al-Qur’an banyak menyerukan kepada manusia untuk berpikir. Sebagai khalifah di bumi, manusia diberi kebebasan menggunakan akal pikirnya untuk memakmurkan kehidupan, karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak dan berkecenderungan kepada mencari kebenaran. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama. Oleh karenanya kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda. Dengan kata lain, setiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut. Karena perbedaan kriteria maka kebenaran baik yang bersifat subyektif maupun yang bersifat obyektif sama-sama relatif sepanjang itu dihasilkan melalui proses berpikir. Karena berpikir sebagai bagian dari aktifitas fisafati bersifat spekulatif. Sebuah kebenaran yang dicapai melalui berpikir sangat ditentukan oleh subyektifitas atau obyektifitas dalam berpikir.

Berbicara tentang persoalan berpikir obyektif sebagai bentuk kerja akal tidak bisa terlepas dari berpikir secara filsafati, karena sesungguhnya filsafat mengajak manusia berpikir menurut tata tertibnya (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sampai ke dasar persoalan. Jadi berpikir secara filsafati yang dimaksudkan adalah berpikir secara mendasar (radic) , bebas dan logis tidak terikat oleh nilai apapun termasuk wahyu.

Berpikir sebagai kegiatan filsafati individual memang tidak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan komunal atau sosial, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa implikasi dari hasil sebuah pemikiran akan memasuki pada ranah-ranah kehidupan sosial. Sebagai contoh rekayasa bioteknologi seperti cangkok sperma, kloning, cangkok ginjal babi dan sebagainya dalam tataran sebagai pruduk berpikir adalah sah adanya. Tetapi pada tataran aplikasi tentu (minimal bagi umat Islam) akan mempertanyakan status hukumnya, misalnya bolehkah hal itu dilakukan, bertentangan dengan hukum dan moral agama atau tidak dan sebagainya. Meskipun demikian, jika berpikir terlalu dibatasi dengan norma atau nilai tertentu maka yang terjadi adalah pemasungan fitrah manusia itu sendiri.

Untuk mendapatkan pemahaman yang clear and distingue tentang tarik menarik antara peran akal dalam berpikir dan wahyu sebagai norma dan etika agama, yang sudah barang tentu akan membatasi kebebasan, perlu dilakukan telaah secara obyektif dengan melihat wilayah kerja dan kewenangan masing-masing baik pada tataran ontologi maupun aksiologinya dalam mewujudkan kesejahteraan kehidupan umat manusia. Tulisan ini mencoba membincangkan proporsionalitas peran akal dan wahyu. Pertanyaannya adalah kapan akal bisa meninggalkan wahyu, atau sebaliknya kapan wahyu harus mempetieskan peran akal, dan kapan pula antara akal dan wahyu saling bersinergi pada wilayah garapan yang sama. Ada ruang bertemu dan ada ruang berpisah antara peran akal dalam berpikir dan wahyu sebagai norma dan etika agama. Pada titik inilah makalah ini difokuskan pembahasannya.

Kebebasan Menggunakan Akal dalam Berpikir

Manusia dianugerahi akal adalah agar manusia dapat berpikir secara bebas dan bertanggung jawab untuk membedakan antara yang benar dan yang salah yang baik dan sebaliknya. Benar dan salah yang dicapai oleh akal manusia diukur dengan logika yang pada hakikatnya bebas nilai. Mengapa, karena ketika kebebasan berpikir dipasung dengan nilai-nilai tertentu, maka sesungguhnya itu merupakan awal ketakberdayaan manusia. Ketika kondisi seperti ini yang terjadi, maka pada saat yang bersamaan kebudayaan akan punah. Begitu pula, ketika dunia ini kosong kebudayaan, maka sudah tidak perlu lagi apa yang di sebut sistem nilai- budaya (cultural value system). Antara budaya manusia dan nilai yang terkait dengannya tidak dapat dipisahkan, masing-masing ada karena yang lain.

Secara umum berpikir dapat didefinisikan sebagai perkembangan idea dan konsep. Dalam metafisika, berpikir adalah sebuah proses kerja akal budi ketika menangkap pengalaman (realita) untuk menemukan sebuah kebenaran tentang realita atau pengalaman itu sendiri. Apa yang ditangkap oleh pikiran termasuk penginderaan dari segenap pengalaman manusia dari lingkungan dimana ia berada sesungguhnya adalah bersifat mental. Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluncur ke bintang- bintang, menembus galaksi dan awan-gemawan, maka metafisika adalah landasan peluncurnya.

Dalam berpikir menemukan kebenaran manusia melakukan penalaran yakni berpikir melalui cara-cara yang logis dan sistematis. Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama adalah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir logis dalam arti melakukan sebuah kegiatan berpikir menurut suatu pola atau logika tertentu. Ciri kedua dari penalaran adalah, sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis, dan kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan.

Berdasarkan kriteria penalaran tersebut, dapat dikatakan bahwa kegiatan berpikir yang tidak logis dan tidak analitis tidak termasuk ke dalam penalaran. Corak berpikir yang seperti ini terlepas dari aturan apapun karena sangat subyektif, bersifat dlarûriy (tak terpikirkan) dan tidak terukur. Misalnya, perasaan enak , tidak enak, senang, atau benci dan intuisi merupakan suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran. Seperti halnya intuisi, manis panas dan sebagainya adalah termenologi yang diberikan oleh manusia kepada gejala yang ditangkap melalui pancaindra. Rangsangan pancaindra ini disalurkan ke otak tanpa melalui proses berpikir nalar, dapat menghadirkan gejala tersebut melalui proses kimia-fisika. Dalam hal ini menurut aliran monistik, sebagai salah satu aliran dalam psikologi yang berpendapat tidak membedakan antara pikiran dan zat, proses berpikir dianggap sebagai aktivitas elektrokimia dari otak. Bagi aliran ini, berpikir adalah sebuah kegiatan aparat-aparat dari otak secara mekanik.

Sebagai proses elektrokimia, maka berpikir adalah bebas nilai karena pembatasnya adalah logika yang merupakan cara penarikan kesimpulan dalam berpikir, sehingga dalam proses menemukan kebenaran, validitas sebuah hasil dari proses berpikir selalu ditentukan dan diukur dengan cara-cara tertentu secara logik baik dengan menggunakan logika deduksi maupun logika induksi. Begitu pula secara ontologis maupun secara epistemologis, ilmu sebagai hasil dari proses berpikir secara logis dan sistematis juga bebas nilai secara total. Mengapa, karena kebenaran dalam ilmu diukur dengan realita yang konkrit dan melalui cara berpikir yang logis yang biasa disebut metode ilmiah, sehingga kebenaran ilmiah adalah sebuah kebenaran yang dapat dibuktikan dan dapat diuji kembali.

Secara aksiologi ketika ilmu sebagai anak kandung akal yang lahir melalui proses berpikir dihadapkan pada masalah moral, ketika ternyata ilmu dan teknologi membawa ekses yang merusak kehidupan, misalnya, senjata biologi, pengembangan uranium untuk membuat bom dan sebagainya, para ilmuwan terbagai ke dalam dua pendapat.

Pendapat pertama, menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai baik secara ontologis maupun aksiologis. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada waktu era Galileo Galilie. Tugas ilmuwan adalah berpikir secara nalar untuk menemukan pengetahuan. Adapun penggunaanya sepenuhnya terserah pada pengguna. Manusialah yang menentukan baik dan buruknya ilmu. Pada tataran ini Ilmu tidak mau bahkan tidak peduli dengan wahyu (agama).

Pendapat kedua, sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan (ontologi) dan epistemologi, sedangkan dalam penggunaannya (aksiologi) harus berlandaskan pada asas-asas moral termasuk moral agama yang bersumber dari wahyu. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika manusia menyadari bahwa manusia seyogyanya mengontrol pikirannya dengan moral. Karel Jaspers mengatakan bahwa ilmu adalah usaha manusia untuk mendengarkan jawaban-jawaban yang keluar dari dunia yang dihuninya. Di sinilah lengketnya etika dengan ilmu. Ilmu bukan tujuan tetapi sarana, karena hasrat akan kebenaran itu berhimpit dengan etika pelayanan bagi sesame manusia dan tanggungjawab secara agama.

Sebagai illustrasi, Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihyâ Ulûm al-Dîn, ia mengkritik fiqh sebagai ilm al-dunyâ. Rumusan kerangka teoritik fiqh yang formalistik telah kehilangan aspek etiknya sehingga ilmu fiqh seakan-akan telah menjadi ilmu yang netral etik. Ia mengatakan bahwa sering ditemukan anggapan bahwa suatu ilmu itu nampaknya tergolong terpuji (mahmûdah) padahal sebenarnya ilmu itu tercela (madzmûmah). Kalau kita tarik pada ranah filosofi sesungguhnya cara pandang al-Ghazali terhadap ilmu fiqh (sebagai bagian dari ilmu secara umum) sangat menekankan aspek aksiologisnya yakni kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat. Dengan demikian, akal sebagai peretas ilmu (sain) betapapun hebatnya tidak boleh meninggalkan bahkan harus mau dikontrol oleh wahyu sebagai pembawa pesan moral agar akal dan ilmu sebagai anak kandungnya menjadi meaningful bukan meaningless.

Senin, 26 Juli 2010

Personality Plus : Florence Litteur


Florence Litteur, penulis buku terlaris “ Personality Plus ” menguraikan, ada empat pola watak dasar manusia. Kalau saja semua sudah kita pahami, kita akan sangat terbantu sekali dalam berhubungan dengan orang lain.

Yang pertama, kata Florence adalah golongan Sanguinis, “Yang Populer”. Mereka ini cenderung ingin populer, ingin disenangi oleh orang lain. Hidupnya penuh dengan bunga warna-warni. Mereka senangsekali bicara tanpa bisa dihentikan. Gejolak emosinya bergelombang dan transparan. Pada suatu saat ia berteriak kegirangan, dan beberapa saat kemudian ia bisa jadi menangis tersedu-sedu.

Namun orang-orang sanguinis ini sedikit agak pelupa, sulit berkonsentrasi, cenderung berpikir `pendek’, dan hidupnya serba tak beratur. Jika suatu kali anda lihat meja kerja pegawai anda cenderung berantakan, agaknya bisa jadi ia sanguinis. Kemungkinan besar ia pun kurang mampu berdisiplin dengan waktu, sering lupa pada janji apalagi bikin planning/rencana. Namun kalau disuruh melakukan sesuatu, ia akan dengan cepat mengiyakannya dan terlihat sepertinya betul-betul hal itu akan ia lakukan.

Lain lagi dengan tipe kedua, golongan melankolis, “Yang Sempurna”. Agak berseberangan dengan sang sanguinis. Cenderung serba teratur, rapi, terjadwal, tersusun sesuai pola. Umumnya mereka ini suka dengan fakta-fakta, data-data, angka-angka dan sering sekali memikirkan segalanya secara mendalam. Dalam sebuah pertemuan, orang sanguinis selalu saja mendominasi pembicaraan, namun orang melankoli cenderung menganalisa, memikirkan, mempertimbangkan, lalu kalau bicara pastilah apa yang ia katakan betul-betul hasil yang ia pikirkan secara mendalam sekali.

Orang melankolis selalu ingin serba sempurna. Segala sesuatu ingin teratur. Karena itu jangan heran jika balita anda yang `melankoli’ tak `kan bisa tidur hanya gara-gara selimut yang membentangi tubuhnya belum tertata rapi. Dan jangan pula coba-coba mengubah isi lemari yang telah disusun istri `melankoli’ anda, sebab betul-betul ia tata-apik sekali, sehingga warnanya, jenisnya, klasifikasi pemakaiannya sudah ia perhitungkan dengan rapi. Kalau perlu ia tuliskan satu per satu tata letak setiap jenis pakaian tersebut. Ia akan dongkol sekali kalau susunan itu tiba-tiba jadi lain.

Ketiga, manusia Koleris, “Yang Kuat”. Mereka ini suka sekali mengatur orang, suka tunjuk-tunjuk atau perintah-perintah orang. Ia tak ingin ada penonton dalam aktivitasnya. Bahkan tamu pun bisa sajaia `suruh’ melalukan sesuatu untuknya. Akibat sifatnya yang `bossy’ itu membuat banyak orang koleris tak punya banyak teman. Orang-orangberusaha menghindar, menjauh agar tak jadi `korban’ karakternya yang suka `ngatur’ dan tak mau kalah itu. Orang koleris senang dengan tantangan, suka petualangan. Mereka punya rasa, “hanya saya yang bisa menyelesaikan segalanya; tanpa saya berantakan semua”. Karena itu mereka sangat “goal oriented”, tegas, kuat, cepat dan tangkas mengerjakan sesuatu.

Hal ini berbeda sekali dengan jenis keempat, sang Phlegmatis “Cinta Damai”. Kelompok ini tak suka terjadi konflik, karena itu disuruh apa saja ia mau lakukan, sekalipun ia sendiri nggak suka. Baginya kedamaian adalah segala-galanya. Jika timbul masalah atau pertengkaran, ia akan berusaha mencari solusi yang damai tanpa timbul pertengkaran. Ia mau merugi sedikit atau rela sakit, asalkan masalahnya nggak terus berkepanjangan. Kaum phlegmatis kurang bersemangat, kurang teratur dan serba dingin. Cenderung diam, kalem, dan kalau memecahkan masalah umumnya sangat menyenangkan. Dengan sabar ia mau jadi pendengar yang baik, tapi kalau disuruh untuk mengambil keputusan ia akan terus menunda-nunda.

Florence Litteur, berdasarkan penelitiannya bertahun-tahun telah melihat bahwa ternyata keempat watak itu pada dasarnya juga dimiliki setiap orang. Yang beda hanyalah `kadar’nya. Olehsebab itu muncullah beberapa kombinasi watak manusia.

Ada orang yang tergolong Koleris Sanguinis. Artinya kedua watak itu dominan sekali dalam mempengaruhi cara kerja dan pola hubungannya dengan orang lain. Di sekitar kita banyak sekali orang-orang koleris sanguinis ini. Ia suka mengatur-atur orang, tapi juga senang bicara (dan mudah juga jadi pelupa).

Ada pula golongan Koleris Melankolik. Mungkin anda akan kurang suka bergaul dengan dia. Bicaranya dingin, kalem, baku, suka mengatur, tak mau kalah dan terasa kadang menyakitkan (walaupun sebetulnya iatak bermaksud begitu). Setiap jawaban anda selalu ia kejar sampai mendalam. Sehingga kadang serasa diintrogasi, sebab memang ia ingin sempurna, tahu secara lengkap dan agak dingin. Menghadapi orang koleris melankolik, anda harus fahami saja sifatnya yang memang `begitu’ dan tingkatkan kesabaran anda.

Lain lagi dengan kaum Phlegmatis Melankolik. Pembawaannya diam, tenang, tapi ingat… semua yang anda katakan, akan ia pikirkan, ia analisa. Lalu saat mengambil keputusan pastilah keputusannya berdasarkan perenungan yang mendalam dan ia pikirkan matang-matang.


Kutipan Lain.............................

Personality Plus

Setiap orang menginginkan kepribadian yang lebih baik, tapi perlu diingat bahwa tiap kita berbeda. Allah sudah menciptakan kita dan keunikan di dalam diri kita masing-masing. Kita semua dilahirkan dengan ciri khas watak kita sendiri. Ada yang periang, spontan. Ada yang penuh pikiran dan tekun. Ada yang suka petualangan dan percaya diri. Ada juga yang ramah dan sabar. Itu membuktikan bahwa masing-masing individu membawa campuran yang unik. Dan seperti sidik jari, tidak ada dua orang yang persis sama di dunia ini.

Watak kita adalah diri kita yang sesungguhnya; kepribadian adalah pakaian yang kita pakai. Tapi apakah kita sudah benar-benar memahami diri sendiri? Apakah kita tahu mengapa kita bereaksi seperti yang kita lakukan? Apakah kita tahu sebesar apa kekuatan kita dan bagaimana cara meningkatkannya? Apakah kita tahu kelemahan kita dan bagaimana cara mengatasinya?

Sudah seharusnya kita belajar untuk memahami diri kita sendiri. Menyelidiki kekuatan dan kelemahan kita dan belajar bagaimana menonjolkan segi positif dan menyingkirkan segi negatif kita. Dan satu hal lagi yang harus diingat, dengan memahami diri kita, kita bisa selangkah lebih maju dalam memahami orang lain. Akhirnya kita bisa sadar kalau ada orang yang berbeda dengan kita, tidak berarti mereka salah. Yang jelas, sebagai muslim, kita punya standar sendiri. Tapi tidak berarti kita berhak mengklaim orang-orang yang 'beda' sebagai kafir.

Florence Litauer dalam bukunya Personality Plus membagi karakter manusia kedalam 4 sifat utama, yaitu Koleris, Sanguin, Melankolik dan Plegmatis.

Gambaran umum Koleris adalah menyukai tantangan, bergaya bossy, berjiwa memimpin dan memerintah. Lebih banyak mengkritik dan seringkali tidak berpikir panjang alias grasa-grusu.

Gambaran umum Sanguin adalah orang yang lebih banyak humor, hidup bagaikan angin, berbelok kemana saja, sering menganggap sepele beberapa hal, yang akhirnya membawa penyakit sering lupa dan sembrono.

Gambaran umum Melankolik adalah orang yang hidupnya serba teratur, mungkin sehari-hari menggunakan jadwal yang ekstra ketat, kalau mau melakukan suatu tindakan maka dia akan menunggu sampai semua komponen yang dibutuhkan terkumpul semua. Paling tidak suka melihat suasana yang berantakan dan tidak teratur.

Sedangkan gambaran umum Plegmatis adalah orang yang lebih suka menyendiri, kurang suka akan tantangan, dan sedikit pesimis atau agak apatis ketika ditawari suatu peluang. Namun orang Plegmatis bawaannya damai, mengalir seperti air.

Personality Plus atau Kepribadian plus berawal dari klasifikasi tipe kepribadian yang mula-mula ditetapkan oleh Hippocrates berabad-abad yang lalu. Menurut Hippocrates, kepribadian bisa dikelompokkan menjadi empat; Sanguinis Populer, Melankolis Sempurna, Koleris Kuat, dan Phlegmatis Damai. Tiap-tiap tipe memiliki ciri khas tersendiri dan dengan begitu, mempunyai kelebihan dan kelemahan sendiri pula.

Kita bisa bersenang-senang dengan orang Sanguinis yang penuh antusiasme. Kita akan serius dengan orang Melankolis yang berusaha mengejar kesempurnaan dalam segala hal. Kita akan maju ke depan dengan orang Koleris yang dilahirkan dengan bakat pemimpin. Dan kita akan rileks dengan orang Phlegmatis yang dengan bahagia menerima kehidupan.

Sanguinis Populer adalah orang yang periang, sangat suka bicara, suka bercerita dan suka menyela dengan maksud berbaik hati menjawab pertanyaan yang diajukan kepada orang lain. Mereka juga senang tertawa, menularkan antusiasme ke seluruh ruangan. Tapi hati-hati, ketika Sanguinis Populer bersedia menjadi sukarelawan untuk suatu tugas, mereka sering kali melupakannya.

Berlawananan dengan Sanguinis yang selalu ceria dan cenderung tidak teratur, Melankolis Sempurna lebih serius, tekun, tertib, penuh pikiran, dan terencana. Mereka sangat terorganisir, menyukai daftar, rapi, dan perfeksionis. Karena itu Melankoli lebih sering tertekan karena standar yang dibuatnya terlalu kaku.

Koleris Kuat lain lagi, mereka dilahirkan dengan bakat memimpin, sangat perlu perubahan, berkemauan kuat dan tegas. Pada titik tertentu mereka cenderung bossy karena terlalu suka memerintah. Mereka berkembang karena tantangan dan tidak terlalu butuh teman.

Tipe keempat adalah penyeimbang. Phlegmatis Damai menghindari konflik, cinta damai seperti namanya, tidak menyinggung perasaan, tidak menarik perhatian, dan tampaknya tidak ada yang bisa mengganggu mereka. Phelgmatis suka mengamati orang lewat, rendah hati, santai, diam, tenang, dan menengahi masalah. Tapi mereka cenderung menjadi pemalas dan acuh tak acuh pada keadaan sekitar.

Semua ada kelebihan dan kekurangannya. Tinggal bagaimana kita meningkatkan kelebihan dan meminimalisir kekurangan kita. Betul?


Minggu, 25 Juli 2010

Menelusuri Hakikat Makna Shaum Ramadhan


Berbicara mengenai shaum, atau lebih umum dikenal dengan istailah puasa (walaupun tidak begitu identik secara terminologi dengan shaum) adalah pembicaraan yang sebenarnya sudah sering dan berulang kali dibahas. Tentunya hal ini dipengaruhi karena shaum sendiri secara periodik dan rutin kita laksanakan, sehingga sangat lumrah berbicara tentangnya karena memang bertepatan pada momennya ini.
Namun seiring dengan pelaksanaan shaum yang rutin setiap tahun kita laksanakan, ada indikasi akulturasi dari ibadah tersebut. Artinya, secara sadar atau tidak kadang ibadah puasa tersebut berubah fungsi dari ibadah menjadi suatu budaya yang tidak berbeda dengan kebiasaan lain dan cenderung menjadi rutinitas tahunan belaka. Perubahan fungsi dan peran Shaum tersebut tentunya berpengaruh terhadap target dan tujuan puasa yang sebenarnya juga. Untuk mengembalikan Shaum pada hakikatnya yang sebenarnya, maka perlu penelusuran lebih jauh mengeniai shaum tersebut, dengan catatan harus atas dasar atau dalin yang otentik dan objektif. Dalam hal ini yang menjadi dasar rujukan otentik kita adalah AlQuran dan AsSunnah.

Mengawali pembahasan ini atau bisa dibilang diskusi, penulis akan memulai dengan Ayat AlQuran yang berkaitan dengan Shaum yaitu Albaqoroh 183 yang artinya

"Hai orang-orang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa"

Dari ayat ini dapat diketahui bahwa puasa adalah suatu proses yang punya tahapan, sama seper ti proses produksi. Ada input - proses - output. Dalam hal ini inputnya adalah orang beriman, prosesnya adalah puasa, dan outputnya adalah insan bertaqwa.

Yang menjadi persoalan apakah kita memahami masing-masing tahapan ini. Apakah sebenarnya orang beriman itu? Apakah setiap orang yang islam itu beriman? Apakah kriteria orang dikatakan beriman? Bagaimana pula dengan puasa? Apakah setiap orang yang muslim sudah wajib puasa? Bagaimana pula dengan taqwa? Apa sih ciri-ciri orang yang bertaqwa, yang tujuan puasanya tercapai? Semua ini akan kita bahas sacara perlahan berdasarkan landasan yang jelas dan objektif yaitu menurut Al-Quran dan Sunnah.

[to be continue....]